Tingginya kasus penyakit Human Immunodeficiany Virus/Acquired Immnune
Deficiency Syndrome (HIV/AIDS), khususnya pada kelompok umur remaja, salah satu
penyebabnya akibat pergaulan bebas.Hasil penelitian di 12 kota di Indonesia termasuk
Denpasar menunjukkan 10-31% remaja yang belum menikah sudah pernah melakukan
hubungan seksual.
Di kota Denpasar dari 633 pelajar Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA) yang baru
duduk di kelas II, 155 orang atau 23,4% mempunyai pengalaman hubungan seksual.
Mereka terdiri atas putra 27% dan putri 18%. Data statistik nasional mengenai
penderita HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 75% terjangkit hilangnya
kekebalan daya tubuh pada usia remaja.
Demikian pula masalah remaja terhadap penyalahgunaan narkoba semakin
memprihatinkan.Berdasarkan data penderita HIV/AIDS di Bali hingga Pebruari 2005
tercatat 623 orang, sebagian besar menyerang usia produktif. Penderita tersebut terdiri atas
usia 5-14 tahun satu orang, usia 15-19 tahun 21 orang, usia 20-29 tahun 352 orang, usia
30-39 tahun 185 orang, usia 40-49 tahun 52 orang dan 50 tahun ke atas satu orang.
semakin memprihatinkan penderita HIV/AIDS memberikan gambaran bahwa, cukup
banyak permasalahan kesehatan reproduksi yang timbul diantara remaja. Oleh sebab itu
mengembangan model pusat informasi dan konsultasi kesehatan reproduksi remaja melalui
pendidik (konselor) sebaya menjadi sangat penting.
“Pusat informasi dan konsultasi kesehatan reproduksi remaja menjadi model
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan menumbuhkan kesadaran dan peranserta
individu memberikan solusi kepada teman sebaya yang mengalami masalah kesehatan
reproduksi”.
Pelatihan Managemen tersebut diikuti 24 peserta utusan dari delapan kabupaten dan
satu kota di Bali berlangsung selama empat hari.
Belum lama ini ada berita seputar tentang keinginan sekelompok masyarakat agar
aborsi dilegalkan, dengan dalih menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia. Ini terjadi
karena tiap tahunnya peningkatan kasus aborsi di Indonesia kian meningkat, terbukti
dengan pemberitaan di media massa atau TV setiap tayangan pasti ada terungkap kasus
aborsi. Jika hal ini di legalkan sebgaimana yang terjadi di negara-negara Barat akan
berakibat rusaknya tatanan agama, budaya dan adat bangsa. Berarti telah hilang nilai-nilai
moral serta norma yang telah lama mendarah daging dalam masyarakat. Jika hal ini dilegal
kan akan mendorong terhadap pergaulan bebas yang lebih jauh dalam masyarakat.
Orang tidak perlu menikah untuk melakukan hubungan seks. Sedangkan pelepasan
tanggung jawab kehamilan bisa diatasi dengan aborsi. Legalisasi aborsi bukan sekedar
masalah-masalah kesehatan reproduksi lokal Indonesia, tapi sudah termasuk salah satu
pemaksaan gaya hidup kapitalis sekuler yang dipropagandakan PBB melalui ICDP
(International Conference on Development and Population) tahun 1994 di Kairo Mesir.
Pada dasarnya seorang wanita yang melakukan aborsi akan mengalami ; penderitaan
kehilangan harga diri (82%), berteriak-teriak histeris (51%), mimpi buruk berkali-kali
mengenai bayi (63%), ingin bunuh diri (28%), terjerat obat-obat terlarang (41%), dan tidak
bisa menikmati hubungan seksual (59%).
Aborsi atau abortus berarti penguguran kandungan atau membuang janin dengan
sengaja sebelum waktunya, (sebelum dapat lahir secara alamiah). Abortus terbagi dua;
Pertama, Abortus spontaneus yaitu abortus yang terjadi secara tidak sengaja.
penyebabnya, kandungan lemah, kurangnya daya tahan tubuh akibat aktivitas yang
berlebihan, pola makan yang salah dan keracunan.
Kedua, Abortus provocatus yaitu aborsi yang disengaja. Disengaja maksudnya adalah
bahwa seorang wanita hamil sengaja menggugurkan kandungan/ janinnya baik dengan
sendiri atau dengan bantuan orang lain karena tidak menginginkan kehadiran janin
tersebut.
Risiko Aborsi
Aborsi memiliki risiko penderitaan yang berkepanjangan terhadap kesehatan maupun
keselamatan hidup seorang wanita. Tidak benar jika dikatakan bahwa seseorang yang
melakukan aborsi ia ” tidak merasakan apa-apa dan langsung boleh pulang “.
Ini adalah informasi yang sangat menyesatkan bagi setiap wanita, terutama mereka
yang sedang kebingungan karena tidak menginginkan kehamilan yang sudah terjadi.
Resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi berisiko kesehatan dan
keselamatan secara fisik dan gangguan psikologis.
Dalam buku “Facts of Life” yang ditulis oleh Brian Clowes, Phd; Risiko kesehatan
dan keselamatan fisik yang akan dihadapi seorang wanita pada saat melakukan aborsi dan
setelah melakukan aborsi adalah ;
ü Kematian mendadak karena pendarahan hebat.
ü Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal.
ü Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan.
ü Rahim yang sobek (Uterine Perforation).
ü Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada
anak berikutnya.
ü Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita),
ü Kanker indung telur (Ovarian Cancer).
ü Kanker leher rahim (Cervical Cancer).
ü Kanker hati (Liver Cancer).
ü Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada
anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya.
ü Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi ( Ectopic Pregnancy).
ü Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease).
ü Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)
Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan
dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat
hebat terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi
sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini
dicatat dalam ” Psychological Reactions Reported After Abortion ” di dalam penerbitan
The Post-Abortion Review.
Oleh sebab itu yang sangat penting untuk diperhatikan dalam hal ini adanya perhatian
khusus dari orang tua remaja tersebut untuk dapat memberikan pendidikan seks yang baik
dan benar. Dan memberikan kepada remaja tersebut penekanan yang cukup berarti dengan
cara meyampaikan; jika mau berhubungan seksual, mereka harus siap menanggung segala
risikonya yakni hamil dan penyakit kelamin.
Namun disadari, masyarakat (orangtua) masih memandang tabu untuk memberikan
pendidikan, pengarahan sex kepada anak. Padahal hal ini akan berakibat remaja mencari
informasi dari luar yang belum tentu kebenaran akan hal sex tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar